Sabtu, 09 Agustus 2008

Titik Lemah aturan poligami

Oleh:
Dra Hj Noorwahidah MAg
Lektor Kepala Fakultas Syariah IAIN Antasari

Senin dan Selasa (12-13 Februari) lalu, digelar seminar internasional di Mahligai Pancasila Banjarmasin. Seminar yang dilaksanakan atas kerja sama Fakultas Syariah IAIN Antasari dengan Jabatan Syariah Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia itu, mengusung tema ‘Hukum Keluarga dan Muamalat’. Beberapa guru besar dari Malaysia dan Indonesia menyampaikan makalahnya dan mendapat sambutan serius dari peserta. Salah satu topik menarik dan mendapat sambutan hangat dari peserta adalah poligami.

Dari seminar ini terungkap, antara lain, aturan tentang poligami yang berlaku di Indonesia ternyata memiliki ‘titik lemah’ yang memungkinkan seorang pria bisa melakukannya tanpa banyak mendapat kesulitan berarti.

Meskipun pada dasarnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menganut asas monogami, namun kemungkinan terjadinya poliami cukup besar. Pasal 3 ayat 2 UU ini menegaskan: "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan." Ayat ini menunjukkan, syarat utama untuk bisa berpoligami adalah adanya izin dari pengadilan.

Untuk memperoleh izin dimaksud, seseorang harus mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Jika ia beragama Islam, permohonan itu disampaikan kepada Pengadilan Agama dan jika nonmuslim ke Pengadilan Negeri.

Pasal 4 ayat (2) UUP menyebutkan, pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami yang ingin berpoligami apabila: 1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Setidaknya ada dua hal penting yang terkait dengan alasan berpoligami. Pertama, baik UUP dan penjelasannya maupun PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP tidak menjelaskan apakah alasan itu merupakan alasan alternatif atau kumulatif. Dengan demikian, terbuka peluang terjadinya perbedaan interpretasi. Kedua, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria masing-masing alasan tersebut. Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, kewajiban yang bagaimana, tidak ada penjelasan.

Di samping alasan tersebut, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi seseorang yang ingin meminta izin berpoligami kepada pengadilan. Pasal 5 ayat 1 UUP menyebutkan: "Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Sama halnya dengan Pasal 4 ayat 2, Pasal 5 ayat 1 UUP ini pun juga tidak jelas menyebutkan apakah syarat itu bersifat alternatif atau kumulatif. Terkecuali itu, semua persyaratan ini pun tidak memberikan jaminan yang kuat kepada kepentingan perempuan yang akan dipoligami.

Syarat pertama, misalnya, ‘adanya persetujuan dari istri/istri-istri’. Meskipun cukup ketat, tetapi ternyata ada kelonggarannya. Keketatan itu terlihat antara lain pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 PP 9/1975 yang menyebutkan, persetujuan istri itu bisa dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Apabila dalam bentuk lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. Bahkan KHI menegaskan: "Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b PP 9/1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama."

Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada istri/istri-istri untuk menentukan sikapnya, apakah menyetujui suaminya berpoligami atau tidak. Dengan kehadiran istri di pengadilan baik untuk mengucapkan persetujuan lisan maupun untuk mempertegas pernyataan tertulis, dapat diminimalisasi kemungkinan terjadinya manipulasi persetujuan tertulis atau pemaksaan dari pihak tertentu.

Dengan adanya ketentuan Pasal 5 ayat 2 UUP dan Pasal 59 KHI tersebut, maka persetujuan istri menjadi tidak mutlak. Dengan kata lain, mungkin saja terjadi perkawinan poligami tanpa persetujuan istri/istri-istri. Ini juga merupakan ‘titik lemah’ di dalam aturan berpoligami.

‘Titik lemah’ juga terlihat dalam ketentuan tentang syarat adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Untuk persyaratan kemampuan suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, Pasal 41 huruf c PP 9/1975 menjelaskan kemampuan itu dibuktikan dengan: a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

Sedangkan mengenai jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, ditegaskan oleh Pasal 41 huruf d PP 9/1975, jaminan itu harus dinyatakan dalam bentuk pernyataan atau janji suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Ketentuan ini memperlihatkan, kedua persyaratan terakhir ini bisa dipenuhi dengan surat. Karena pembuktiannya hanya berbentuk surat, tentu rentan sekali terjadi manipulasi dan kebohongan. Bagi mereka yang sudah sangat ingin berpoligami, tidak terlalu sulit untuk memperoleh surat keterangan tentang penghasilan atau membuat pernyataan jaminan berlaku adil.

Terlepas dari semua itu, ada satu ketentuan yang bisa disebut ‘titik lemah’ aturan berpoligami di Indonesia, yaitu pasal 56 ayat 3 KHI. Ayat ini menegaskan: "Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.’ Ini berarti, perkawinan itu sah saja, cuma tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam arti, apabila di kemudian hari terdapat masalah rumah tangga yang harus dibawa ke pengadilan maka perkawinan ini tidak memiliki kekuatan hukum apa-apa. Jadi, hanya itu sanksinya.

Ayat ini memberi peluang cukup luas kepada suami untuk berpoligami tanpa izin pengadilan. Karena itu, apabila sering terjadi poligami melalui kawin siri (di bawah tangan), bukan hal aneh dalam masyarakat kita.

Kalau demikian, perlukah UUP dan KHI direvisi? Jawaban ada pada kita masing-masing

http://www.indomedia.com/bpost/032007/3/opini/opini2.htm



Tidak ada komentar: