Minggu, 10 Agustus 2008

POLIGAMI DAN MORAL BANGSA

Oleh: Ferawati*

Pendahuluan
Rata Penuh
Syari`at Islam yang berkaitan dengan urusan poligami (lelaki boleh menikahi perempuan lebih dari satu dan maksimal empat) telah melahirkan kontroversi dan memunculkan sikap-sikap aneh dari sebagian orang yang membenci dan berjuang keras untuk melenyapkannya dari muka bumi Allah ini. Orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan Muslimah tidak malu-malu mengeluarkan berbagai fitnah terhadap sistem poligami yang dibenarkan oleh Allah dalam batas dan dengan syarat-syarat yang benar, adil dan proporsional.

Stigmatisasi terorisme terhadap para mujahid penegak syari`at Islam, yang dipropagandakan Amerika, Australia, Filipina, dan Singapura, berpengaruh cukup besar terhadap berkembangnya aktivitas mereka. Stamina intelektual ini kian bergairah setelah diinjeksi melalui isu demokratisasi, pluralisme dan hak asasi manusia. Termasuk meluasnya dekadensi moral, kemungkaran intelektual, maupun penyimpangan pemikiran Islam yang mereka sosialisasikan melalui jaringan kerja kelompok liberal Islam dan para pengusung kesetaraan gender. Oleh karena itu, mereka semakin berani bahkan untuk merevisi sejumlah ayat al-Qur`an yang dianggap diskriminatif terhadap kaum perempuan. Seperti yang dilakukan Dr. Siti Musda Mulia, 46 tahun, dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, yang berambisi menghapuskan sejumlah ayat al-Qur`an melalui tangan kekuasaan. Melalui “Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (KHI)” kelompok yang menyebut dirinya tim pengarus-utamaan gender bentukan Departemen Agama, periode akhir Menag Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar (Agustus 2004) mengusulkan rumusan baru fikih Islam yang diselaraskan dengan karakteristik demokrasi dan pluralisme.

Tim ini sengaja dibentuk, dengan maksud mengganjal syariat Islam, melakukan pembaharuan terhadap Islam yang dianggap out of date, terutama dalam bidang perkawinan (nikah, talak, dan rujuk) yang mereka nilai sebagai segmen diskriminatif bagi kaum perempuan. Mereka, secara apriori, mengaku menemukan ketidak-adilan yang menimpa kaum perempuan. Lalu, seperti biasanya mereka menuduh kaum fundamentalis telah melakukan kesalahan epistimologis, karena hanya berorientasi pada teks al-Qur`an dan sunnah tanpa memandang konteks masyarakat setempat. Karena itulah, mereka berambisi menghapus sejumlah ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengusulkan supaya poligami dilarang. Alasannya, asas perkawinan adalah monogami. Selain itu, calon suami atau calon istri harus berusia minimal 19 tahun. Mereka, para calon istri dapat mengawinkan dirinya sendiri dengan syarat tertentu.

Menolak poligami, berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah. Jelas ini pelaggaran terhadap ketetapan Allah di dalam al-Qur`an surat an-Nisa`, 4:3 yang mengizinkan laki-laki menikahi wanita lebih dari satu.

Menurut tim PUG, poligami haram bighairihi, yaitu karena adanya ekses negatif dari pelaku poligami, berdasarkan penelitian mereka poligami menjadi sebab anak terlantar, dan tidak harmonisnya perkawinan. Jika karena akibat buruknya menjadi alasan ditolaknya poligami, penolakan demikian bersifat spekulatif. Mengapa monogami juga tidak dilarang? Bukankah dari kalangan pelaku monogami jauh lebih banyak yang menelantarkan anak dan istrinya; serta memperlakukan mereka dengan tidak adil, dibandingkan pelaku poligami?

Untungnya, usulan draf ini dibatalkan oleh Menag yang baru, Maftuh Basyumi. Jika tidak, niscaya usulan itu bisa memotivasi masyarakat untuk mengingkari nilai-nilai syari`at Islam, dan menjadi alasan legalisasi prostitusi di negeri yang sudah membudaya perilaku pornografi ini.

Menjawab Keraguan Tentang Bolehnya Poligami

Menurut kalangan anti-poligami, Islam sesungguhnya melarang poligami. Alasannya, di dalam surat al-Nisa’ ayat 3 poligami memang diperbolehkan. Akan tetapi itu bisa dilakukan apabila suami memenuhi syaratnya, yaitu harus adil. Sedangkan di dalam surat al-Nisa’ ayat 129 disebutkan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Jika kedua ayat tersebut dipadukan, maka kesimpulan yang didapat adalah larangan poligami. Sebab, pada ayat pertama berisi kebolehan dengan syarat adil, sementara ayat lainnya memberitahukan bahwa manusia tidak akan berbuat adil, yang berarti manusia tidak akan dapat memenuhi syarat tersebut. Sebuah kesimpulan yang tampak logis. Namun, benarkah demikian?

Apabila kesimpulan itu benar, tentulah Rasulullah saw akan melarang sama sekali praktik poligami. Sebab apa pun alasannya, poligami hanya akan mengantarkan kepada laki-laki terjatuh kepada dosa lantaran tidak bisa berbuat adil. Pada hal kenyataannya tidak demikian. Riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi saw justru membolehkan praktik poligami.

Ahmad dan al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada Ghailan bin Salamah yang memiliki 10 orang isteri untuk memilih 4 isteri di antara mereka dan menceraikan selebihnya ketika ia masuk Islam. Perintah yang sama juga ditujukan kepada Qais bin Tsabit yang beristeri 8 dan Naufal bin Mua’awiyyah yang beristeri 5. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak melarang kepada mereka untuk beristeri lebih dari satu. Hanya saja, sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Nur ayat 3, tidak boleh melebih empat isteri. Di samping itu, Rasulullah saw juga melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) agar ia dapat menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya karena sesungguhnya bagi dirinya bagian yang telah ditetapkan (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra).

Sikap Rasulullah saw itu jelas menunjukkan kebolehan poligami, sekaligus kesalahan kesimpulan kalangan anti-poligami. Sebab, orang paling otoritatif dan dijamin tidak salah dalam menjelaskan makna al-Quran Rasulullah saw (lihat QS al-Nahl: 44).
Jika kesimpulan kalangan anti-poligami telah terbukti salah karena bertentangan dengan penjelasan Rasulullah saw, bagaimana mendudukan dua ayat di atas. Harus dipahami bahwa surat al-Nisa ayat 3 itu tidak memberikan syarat adil dalam poligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai sebuah kalimat sempurna). Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan—atau merupakan bagian dari—kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan).

Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini: Fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil)-sebagai suatu kalimat yang satu. Akan tetapi, hal yang demikian, menurut an-Nabhani, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkan poligami. Akan tetapi berlaku adil merupakan kewajiban yang harus ditunaikan suami terhadap isteri-isterinya. Apabila kewajiban itu diabaikan, dia akan mendapatkan dosa. Sehingga, bagi siapa pun yang khawatir tidak bisa berbuat adil, dia dianjurkan membatasi satu isteri saja.

Patut juga ditegaskan, dalam fiqh Islam istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk kepada kondisi atau perbuatan yang tidak menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Biasanya, harus dipenuhi sebelum perbuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami terhadap isterinya. Andai adil merupakan syarat sah poligami adalah adil, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan?

Lantas bagaimana dengan QS an Nisa: 129 yang seakan-akan menyebutkan manusia tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istri mereka . Kedua ayat tersebut ( An Nisa 3 dan 129) tersebut tidak boleh diletakkan secara berhadapan akan tetapi dalam kerangka mengkhususkan yang umum (takhsîsh al-'âm). Perintah berlaku adil dalam surat al-Nisa’ ayat 3 itu bersifat umum. Sementara berlaku adil ayat 129 bersifat khusus. Sehingga kedua ayat itu memberikan makna, wajib menunaikan kewajiban terhadap isteri-isterinya dengan berlaku adil terhadap mereka kecuali dalam perkara-perkara yang mereka tidak mungkin melakukannya.

Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas ra menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kecendrungan kasih sayang dan selera syahwat seksual suami terhadap istri-istrinya.. Dalam persoalan cinta kasih, Rasulullah saw lebih condong kepada ‘Aisyah daripada isteri-isteri lainnya. Meskipun demikian, sikap itu tidak boleh mengakibatkan hak-hak isteri yang lain terabaikan. Sehingga, dalam ayat 129 juga dinyatakan: Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Sedangkan dalam perkara-perkara yang berada dalam batas kemampuan manusia, seperti pemberian nafkah, sikap dan perlakuan lahiriah, giliran, dan semacamnya, suami wajib berlaku adil. Dengan demikian ini, jelaslah bahwa ayat 129 tidak berfungsi membatalkan ayat 3 seperti anggapan kalangan anti-poligami.

Rasulullah SAW Melarang Poligami...?

Kalangan anti-poligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulullah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).

Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyanding putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain. Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. "Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, "Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah." (H.R. Bukhari)

Sementara berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akibat praktik poligami sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Solusinya, tentu bukan melarang poligami, namun meluruskan praktik yang salah itu. Pula, kekerasan bukan monopoli keluarga poligami. Dalam keluarga monogami pun banyak ditemukan kekerasan. Apakah lantaran itu monogami juga harus dilarang?

Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Dan itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan anti-poligami. Sebaliknya isteri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Bahkan jika ia memahami poligami sebagai tindakan mulia, dengan sukarela dia mencari isteri bagi suaminya sebagaimana yang terjadi pada kalangan aktivis Islam. Penggunaan alasan HAM untuk melarang poligami juga tampak aneh. Hak siapakah yang dilanggar ketika seorang suami memutuskan untuk poligami apalagi jika isteri pertamanya juga meridhai? Mengapa alasan serupa tidak digunakan untuk melarang praktik perzinaan dan perselingkuhan, malah dilokalisasi dan dilegalisasi? Padahal, perzinaan merupakan perilaku amoral yang menghancurkan masyarakat dan kehidupan.

Poligami Meningkatkan Moralitas Bangsa

Poligami menurut sejarahnya adalah bentuk pernikahan yang banyak diperaktekkan diseluruh dunia, dan diterima secara luas dibanding perkawinan monogami. Poligami adalah bentuk pernikahan yang hanya mendapatkan cap miring (prasangka negatif) di dalam budaya Eropa Barat, dan terutama Amerika. Apa yang menyebabkan poligami disikapi dengan begitu emosional dan senantiasa mengundang cercaan? Sedang pada saat yang sama pernikahan kaum homoseks justru lebih diterima, apa yang sebenarnya dipermasalahkan mengenai poligami ini?

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dalam situasi dan kondisi normal, monografi merupakan peraturan yang wajar. Akan tetapi dalam keadaan perang, dimana banyak lelaki terbunuh yang menyebabkan jumlah wanita melebihi laki-laki, tentu saja memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasi keadaan berlebihnya jumlah wanita. Maka poligami (beristri lebih dari satu, maksimal empat), sesunggunya merupakan anugerah bagi wanita dan merupakan solusi yang sehat. Karena itu poligami merupakan obat mujarab bagi kehidupan seks yang bermoral dan merupakan konsekuensi logis, sekalipun hal itu tidak diharapkan oleh kaum wanita.

Setelah berakhir perang dunia ke II muncul rencana perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, para negarawan menemui kesulitan untuk mengatasi kelebihan jumlah wanita. Kenyataan tersebut pernah dilaporkan oleh koran Statesman (1945) sebagai berikut :

“London, 17 September – lebih dari tiga wanita di Inggris Raya ditakdirkan menjalankan kehidupan seorang diri tanpa adanya harapan untuk mendapatkan suami, anak maupun rumah.”

“Saat ini ketika perang telah membinasakan hampir 300.000 laki-laki dan menyisakan ribuan lainnya cacat sehingga tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat tidur mereka.”

“Apa yang akan terjadi pada ribuan gadis yang kehilangan suami atau kekasih mereka, hal ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi Inggris pasca perang.”

“Bahkan jika seluruh laki-laki memutuskan untuk menikah, diperkirakan masih ada empat juta wanita yang tidak akan mendapatkan suami. Tetapi catatan yang ada membuktikan bahwa separuh dari populasi pria di Inggris tetap membujang”.

“Kekurangan laki-laki tidak hanya terjadi di Inggris. Di Amerika terdapat dua belas juta wanita yang belum menikah, sedangkan jumlah pria yang belum menikah sebanyak sembilan juta. Dibanyak negara Eropa, laki-laki bahkan hampir punah”.

Terhadap fakta yang merisaukan ini Dr. David Mace, Sekretaris Dewan Bimbingan Perkawinan di Inggris, mengajukan solusi:”satu-satunya penyelesaian yang mungkin adalah menarik perhatian wanita kepada karir, supaya mereka bisa mengisi waktunya.”

Apa yang dikemukakan oleh Dr. David Mace justru membuat keadaan menjadi parah dari keadaan yang sesungguhnya terjadi. Karena cara semacam itu tidak akan mencegah munculnya perilaku seksual yang korup atau rusak secara besar-besaran. Oleh karena itu, cara yang tepat mengatasi situasi semacam ini adalah dengan poligami. Dr. C.G. Jung (Psikolog) dalam observasinya yang mendalam berkenaan dengan spiritual manusia modern memberikan kesaksian sesuai dengan kegunaan institusi poligami. Ia mengatakan:”Penghapusan poligami oleh para misionaris di Afrika telah meningkatkan jumlah prostitusi. Di Uganda saja diperlukan dana 20.000.000 Pound Sterling setiap tahun sebagai biaya pencegahan penularan penyakit seksual, belum lagi resiko terjadinya dekadensi nilai moral.”

Mr. M. N. Roy –seorang komunis India yag terkenal- mengadakan penelitian yang sama, dan mempublikasikannya melalui artikel berjudul:”The Stucture of Chinese Society” dalam Modern Review bulan Agustus 1938. Dia menuliskan, “keluarga monogami merupakan institusi sosial yang muncul disebabkan oleh evolusi kekayaan pribadi. Individualisme merupakan prinsip fundamental dari kapitalis, bentuk tertinggi dari kekayaan pribadi. Oleh karena itu, aturan yang ada dalam al-Qur`an tentang poligami dapat diterapkan bukan hanya sebagai solusi terhadap kelebihan jumlah wanita akibat perang, tetapi juga sebagai hal yang seharusnya dilaksanakan dalam kehidupan sosial untuk mencegah ancaman terhadap penumpukan harta kekayaan.”

Prof. George Anquetil, dalam menerangkan manfaat dan keuntungan perkawinan poligami, antara lain menyebutkan:

1. Poligami memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya, memanifestasikan rasa cinta dan kodrat keibuan, yang jika tidak ada poligami, mereka terpaksa hidup tanpa suami, akibat sistem monogami.
2. Poligami mengurangi penyebab terjadinya banyak perceraian, kejahatan karena permainan cinta kemunafikan dalam rumah tangga-rumah tangga yang kurang sehat, berkurangnya jumlah penduduk pembunuh anak-anak dan menyerahkan bayi-bayi kepada lembaga sosial.

Dr. Annie Besant menyatakan:”ketika kita melihat ribuan wanita yang sengsara memenuhi jalan-jalan dinegara Barat pada malam hari, kita pasti merasa bahwa tidak ada pikiran orang Barat untuk mengikuti cara Islam tentang poligami. Jauh lebih baik seorang wanita, lebih bahagia untuk seorang wanita, lebih terhormat untuk seorang wanita dengan hidup dalam poligami seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Menikah dengan satu orang laki-laki, dengan anak resmi dalam pelukannya dan dihormati dari pada dirayu dan diusir kejalanan –mungkin dengan anak haram yang tidak terlindung oleh hukum- tidak mempunyai tepat tinggal dan tidak terurus, serta menjadi korban dari siapapun yang lewat pada malam hari, yang terlebih lagi menjadikannya tidak mampu untuk menjalankan tugas sebagai seorang ibu.”

Poligami memang bukan untuk setiap orang. Sepanjang individu memiliki waktu, energi, perhatian, dan kasih sayang yang dibutuhkan, apakah sebenarnya yang dibutuhkan, apakah yang sebenarnya dipersoalkan dalam hal pria yang memiliki istri lebih dari satu? Sementara sekarang ini masyarakat kita mendorong wanita untuk membuat pilihan secara mandiri, dan setiap individu dapat mewujudkan potensi unik mereka, maka jika ada seorang wanita yang memutuskan untuk berpoligami, adakah orang lain yang berhak melarangnya untuk menjalankan pilihannya itu? Pelecehan dan eksploitasi tidaklah dapat ditoleransi, demikian juga dalam hal apapun didalam masyarakat kita. Poligami bukan sebuah bentuk pelecehan. Poligami adalah sebuah pilihan yang sudah digariskan Tuhan bagi sebagian orang. Wallahua`lam..

DAFTAR PUSTAKA
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/12/tgl/19/tim
http://www.HTI.htm
Yunahar Ilyas. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur`an. Yogyakarta. Labda Press. 2006
Software Terjemahan al-Qur`an
Muhammad Thalib. Orang Barat Bicara Poligami. Wihdah Press. 2004
www.hidayatullah.com
Hamid Fahmy Zarkasyi. Tantangan Sekulerisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam. Jakarta. Khoirul Bayan. 2004
_____________________________
* Penulis adalah Kader IMM Cabang Djazman Al-Kindi Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Perkaderan DAM DPD IMM Riau di Pekanbaru

sumber : http://www.dpdimmriau.co.cc/2008/07/poligami-dan-moral-bangsa_5666.html

Tidak ada komentar: