Senin, 25 Agustus 2008

Ketika Buku Antipoligami Membikin Kader PKS "Terbelah"

(Catatan atas buku "Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri" oleh Cahyadi
Takariawan)

Kamis, 02 Agt 2007,
Bersyukur setelah Baca Suami Batal Kawin Lagi

Seorang anggota Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yangRata Penuh
disegani menulis buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri. Karya itu
langsung disambut gembira jutaan kader wanita PKS. Namun, sebaliknya,
para kader pria yang sudah atau akan berpoligami mereaksi dengan
keras.

RIDLWAN HABIB, Jakarta

RUANGAN Kantor Hilal al Ahmar di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan,
siang itu terasa gerah. Bukan karena cuaca Jakarta terik. Juga bukan
disebabkan pendingin ruangan tidak berfungsi. Tapi, karena buku yang
ditulis Cahyadi Takariawan itu memicu kontroversi yang panas.

"Buku ini memang harus segera ditarik. Hati saya membara membacanya,"
ujar Wakil Bendahara Umum DPP PKS Didin Amarudin kepada Jawa Pos.
Saat itu lelaki beristri tiga itu datang pada acara dengan ditemani
empat orang pengurus DPP yang lain.

Menurut Didin, sejak buku itu terbit, istri-istrinya menjadi
gelisah. "Bahkan, istri kedua saya menghubungi temannya yang juga
dipoligami dan bikin bedah buku khusus untuk ini," katanya.

Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, itu mengakui buku Cahyadi
Takariawan itu mengubah paradigma umum di kalangan wanita PKS yang
selama ini mendukung poligami. "Kalau yang menulis orang luar atau
orang yang sekuler, saya tidak heran. Tapi, ini yang menulis adalah
ustad yang kredibilitasnya sangat diakui di Majelis Syura PKS," kata
Didin.

Majelis syura adalah elemen tertinggi di partai yang berdiri sejak
1998 (awalnya bernama Partai Keadilan). Anggota majelis hanya 99
orang yang dipilih dari jutaan kader PKS di seluruh Indonesia.

Didin mengatakan, para qiyadah (pimpinan) partai gelisah karena buku
itu dijadikan simbol perlawanan terhadap suami yang akan menikah
lagi. "Rumah saya satu kompleks dengan Pak Tifatul (Tifatul
Sembiring, presiden PKS, Red). Beliau juga khawatir, tapi selama ini
memang memilih diam," ujar bapak tujuh putra itu. Tifatul Sembiring
juga beristri dua. Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta juga
berpoligami. Bahkan, istri kedua Anis berkebangsaan asing.

"Buku Pak Cah (Cahyadi Takariawan) itu hanya menonjolkan sisi-sisi
negatif dari poligami, seakan-akan ribet banget, padahal tidak
benar," katanya.

Didin lalu melanjutkan kisah "sukses" poligami dirinya. Istri pertama
Didin dinikahi pada 1990. Lalu, istri kedua pada 2001. Terakhir,
Didin menikahi akhwat (kader PKS) menjadi istri ketiga pada
2002. "Memang, biasanya dari istri pertama ke yang kedua itu lama
pendekatannya, Mas. Baru yang ketiga lancar," tuturnya.

Manajemen keluarganya, kata Didin, malah terbantu ketika dirinya
berpoligami. "Kalau kita berhitung secara matematis, anak tujuh
dirawat dan dididik tiga istri kan lebih baik," ujarnya.

Dia khawatir buku Cahyadi akan menimbulkan pro-kontra di kalangan
rumah tangga muslim masing-masing kader. "Ada jutaan akhwat di
Indonesia. Beberapa di antara mereka janda. Lantas, apakah mereka
kita biarkan," katanya dengan nada bertanya.

Taufik Bahtiar, direktur Hilal al Ahmar, menambahkan bahwa ada
beberapa logika yang tidak tepat dan dicantumkan dalam buku ber-cover
merah jambu itu. "Misalnya, tentang cinta lelaki yang tidak bisa
dibagi, itu salah. Contohnya, saya. Kalau dengan istri pertama 100
persen, dengan istri kedua juga 100 persen," ujarnya, lalu tersenyum.

Taufik juga berpoligami. Istri pertama meminta cerai ketika Taufik
hendak menikah kali ketiga. Sekarang janda Taufik itu diperistri
sahabatnya yang juga anggota Majelis Syura PKS sebagai istri kedua.

Buku terbitan Era Intermedia, Solo, tersebut telah dicetak hingga
10.000 eksemplar. Buku setebal 278 halaman itu mengupas sisi-sisi
lain dari keluarga yang berpoligami.

Si penulis Cahyadi Takariawan kepada Jawa Pos mengatakan bahwa
dirinya kaget melihat reaksi "jamaahnya" terhadap buku itu. "Padahal,
di halaman awal buku itu saya sudah jelaskan tidak berbicara tentang
hukum poligami, tapi bicara tentang mereka yang gagal berpoligami
karena persiapannya kurang," katanya.

Alumnus Fakultas Farmasi UGM itu mengibaratkan poligami dengan
salat. "Siapa yang membantah kalau salat itu wajib. Tapi, pada
praktiknya, banyak yang salat, tapi tetap korupsi. Banyak yang salat,
tapi menipu, mencuri, dan kejahatan yang lain. Apakah yang salah
salatnya?" katanya.

Demikian juga, poligami. Melalui bukunya, suami Ida Nur Laila itu
ingin "meluruskan" para pelaku poligami. "Bukan untuk mengampanyekan
antipoligami," kata suami yang bertahan dengan satu istri itu.

Cahyadi mengaku mendapat banyak sekali keluhan dari ummahat (ibu-ibu
istri ikhwan alias kader PKS) yang mengalami masalah gara-gara
suaminya menikah lagi. "Kebetulan, saya juga konsultan keluarga.
Selain datang langsung, mereka juga menelepon dan mengirim SMS," kata
ketua Wilayah Dakwah (Wilda) III DPP PKS itu. Sebagai ketua Wilda,
Cahyadi bertanggung jawab pada ekspansi PKS di Sulawesi dan Papua.

Karena keluhan-keluhan itu datang bertubi-tubi, Cahyadi berusaha
meramunya dalam tulisan. Misalnya, keluhan tentang kebohongan-
kebohongan suami yang menikah lagi. Juga masalah finansial yang
membuat pernikahan menjadi tidak harmonis.

"Yang menyedihkan, ada suami yang buru-buru poligami hanya karena
dikompori komunitasnya yang semuanya sudah menikah lagi. Padahal, dia
belum siap. Akhirnya, yang terbengkalai adalah keluarganya,"
bebernya. Padahal, seharusnya poligami justru membawa keberkahan.

Sebelum menulis buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri, Cahyadi telah
menulis 20 judul buku yang lain. Mayoritas tentang tema
pernikahan. "Saya tidak bermaksud melukai hati para lelaki yang
berpoligami. Karena itu, saya malah minta Bu Sri Rahayu Tifatul
Sembiring sebagai istri pertama menulis kata sambutan," katanya.

Dalam bedah buku yang dilakukan hampir tiap minggu, Cahyadi juga
menolak dipanelkan dengan aktivis antipoligami. "Saya yakin masalah
ini akan hipersensitif karena kebanyakan yang membaca dipenuhi dengan
emosi pribadi. Jadi, tidak jernih lagi," ujarnya.

Seorang pembaca bahkan komplain langsung ke penerbit. Pembaca itu
merasa rahasia rumah tangganya ditulis Cahyadi. "Buku ini harus
segera ditarik dari peredaran," kata Cahyadi menirukan ikhwan yang
emosi itu. Padahal, dirinya belum pernah kenal. "Jadi, dia sendiri
yang merasa bahwa apa yang saya tulis dalam buku itu cocok," jelas
pria yang juga berprofesi sebagai apoteker itu.

Getah pahit, kata Cahyadi, juga nyasar ke teman-temannya yang ikut
mempromosikan buku. "Misalnya, Mbak Neno Warisman. Gara-gara Mbak
Neno aktif mengirimkan SMS soal buku ini, beliau dikomplain, terutama
oleh kader-kader wanita yang sudah mempunyai madu," ungkapnya. Neno
Warisman adalah salah seorang aktris sekaligus penyanyi yang sekarang
aktif di PKS.

Apakah akan membuat buku baru lagi sebagai jawaban atas komplain?
Cahyadi mengaku akan melakukan beberapa revisi. "Saya menghargai
nasihat para asatidz (ulama) yang meminta redaksionalnya diperbaiki,"
katanya.

Meski begitu, lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 11 Desember
1965, itu tetap menganggap bukunya tidak kontroversial. "Kalau saya
menulis Sengsarakan Istri dengan Satu Istri, itu baru masalah. Kalau
bahagia, kan semua ingin begitu," tegasnya.

Namun, keyakinan Cahyadi tetap berbenturan dengan realita di
lapangan. Di Jawa Timur, misalnya, Ketua Dewan Syariah DPW PKS Jatim
Ustad Mudhofar mengaku mendapat keluhan terkait buku itu. "Ada
seorang akhwat yang skripsinya mendukung poligami, bertahun-tahun
kader wanita ini bicara dalam diskusi-diskusi agar poligami didukung,
tapi begitu membaca Pak Cah, langsung berbalik 180 derajat," paparnya
kepada Jawa Pos.

Kuatnya buku itu, kata Mudhofar, karena track record penulisnya. "Pak
Cahyadi selama ini dikenal sebagai ulama yang ahli dalam keluarga.
Wajar kalau ada yang jadi ragu karena tulisannya," tuturnya.

Mudhofar menganggap dalil-dalil yang dipakai Cahyadi agak
dipaksakan. "Misalnya, soal perbandingan umur Rasulullah saat sebelum
poligami dan setelah poligami. Tidak ada ulama yang menggunakan
patokan itu," jelasnya. Cahyadi menulis, Muhammad SAW menikah lagi
setelah bermonogami selama 25 tahun bersama Khadijah.

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Rofi' Munawar menambahkan, dirinya
membatalkan meneruskan membaca buku itu sampai tuntas. "Saya juga
dapat hadiah dari beliau (penulis buku) saat rapat majelis syura.
Tapi, begitu saya baca, tidak saya lanjutkan karena kok ada yang
nggak sreg," akunya.

Berbeda dengan kader-kader lelaki PKS, beberapa orang kader wanita
yang dihubungi Jawa Pos justru sangat bersyukur atas terbitnya
tulisan Cahyadi itu. "Suami saya menjadi ragu-ragu. Sebenarnya saya
sudah akan mengizinkan, tapi setelah membaca, saya diskusi lagi, dan
alhamdulillah batal (menikah lagi)," kata seorang kader yang meminta
identitasnya disamarkan.

Alumnus Universitas Airlangga Surabaya itu melanjutkan, di kalangan
internal kader wanita, buku itu seakan menjadi buku wajib. "Dalam
setiap pertemuan mingguan, ada diskusi untuk membahas buku itu bab
demi bab," katanya. Kader PKS biasanya mengadakan taklim rutin sehari
dalam setiap pekan. Tempatnya bergantian di rumah masing-masing kader
atau tempat lain yang disepakati.

Seorang akhwat lain menambahkan, dirinya menjadi lebih siap untuk
menikah setelah membaca buku Cahyadi. "Tidak ada lagi rasa khawatir
calon suami saya akan poligami. Nanti kalau dia memaksa, akan saya
pertemukan langsung dengan Pak Cah," ujarnya. (*)

Sumber: Jawa Pos, 2 Agustus 2007

Minggu, 10 Agustus 2008

Pak Surono dan Poligami

Source: Republika, Resonansi

Tiba-tiba saya ingat Pak Surono. Ingatan itu muncul berkaitan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal Oktober lalu yang menolak gugatan bahwa Undang-Undang Perkawinan 1974 bertentangan dengan hukum Islam dan hak konstitusional warga negara laki-laki Muslim Indonesia untuk berpoligami. Bahkan, menurut gugatan itu, larangan --atau tepatnya pengetatan poligami dalam perundangan Indonesia-- mendorong laki-laki berselingkuh atau bahkan melakukan perzinaan. Jadi, poligami seharusnya dibolehkan undang-undang agar laki-laki tidak berselingkuh dan tidak terjerumus ke dalam perzinaan.

Menyimak argumen gugatan ini ingatan saya kembali ke Pak Surono. Pak Surono adalah 'orang kecil' yang mungkin sering terabaikan. Saya mengenalnya di Bandara Frankfurt, Jerman, saat transit di sana. Pak Surono, orang Banten yang sudah lebih dari dua dasawarsa 'malang melintang' di Jerman, bekerja di berbagai tempat, sejak dari perusahaan Jerman sampai lembaga atau instansi Indonesia. Pak Surono tetap mempertahankan kecintaannya kepada Indonesia; dan ia selalu mengikuti perkembangan di Tanah Air. Dengan begitu, Pak Surono menjadi tipikal orang Indonesia dalam diaspora.

Dengarlah cerita Pak Surono; dan saya lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Ia mulai dengan meningkatnya sikap anti-Islam dari kalangan masyarakat Jerman, khususnya sejak kehebohan berkaitan dengan kasus kartun Denmark yang menghina Nabi Muhammad SAW. Dampak dari reaksi keras kaum Muslimin terhadap kartun itu berkelanjutan dalam masyarakat Jerman, yang melihat kaum Muslim sebagai over-reactive.

Lebih jauh, dengan bangkitnya sikap Islamophobia, muncul pula kembali berbagai mispersepsi klasik tipikal dalam masyarakat Jerman dan Eropa lainnya tentang Islam. Di antaranya berkenaan dengan poligami. Bagi kalangan masyarakat Jerman atau Eropa dan Barat umumnya sejak masa klasik dan pertengahan, ajaran Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah, untuk tidak dikatakan sebagai 'menindas'. Salah satu alasan bagi mispersepsi ini adalah Islam mengizinkan poligami.

Karena itulah Pak Surono menentang poligami. Menurut dia, Islam tidak pernah membenarkan poligami, kecuali dalam keadaan sangat-sangat darurat, misalnya, jika istri betul-betul tidak bisa memberi keturunan, atau dalam keadaan sakit permanen yang hampir tidak mungkin sembuh lagi. Bagi Pak Surono, alasan dengan berpoligami laki-laki akan terhindar dari perselingkuhan dan perzinaan adalah alasan yang tidak masuk akal. Hujjah itu hanya menunjukkan kelemahan iman laki-laki yang bersangkutan. Pak Surono kemudian mengingatkan pada hadis Nabi Muhammad, bahwa jika seorang laki-laki memiliki nafsu yang bernyala-nyala, maka ia sebaiknya melakukan puasa.

Bagi Pak Surono, seorang suami yang berpoligami tidak mungkin, atau bahkan mustahil bisa melaksanakan keadilan terhadap para istrinya. Sang suami mungkin bisa berlaku adil secara material, tetapi tidak mungkin secara psikologis dan rohaniah. Karena tidak mungkin berlaku adil, makanya poligami, pada dasarnya Islam tidak mengizinkan, apalagi mendorong seorang suami mengawini perempuan lebih dari satu.

Sekali lagi, keputusan MK yang menegaskan keabsahan perundangan Indonesia yang memperketat poligami, pastilah menggembirakan Pak Surono, banyak laki-laki lain, dan istri-istri umumnya. Hampir bisa dipastikan, kelompok yang disebutkan terakhir, yaitu para istri boleh dikatakan tidak ada yang mau dimadu. Hanya karena terpaksa saja mereka mau 'berbagi suami' dengan wanita lain yang dinikahi suami mereka.

Dalam masa reformasi sekarang, memang ada gejala meningkatnya praktik poligami. Ini antara lain karena hampir tiada penegakan hukum yang memperketat praktik poligami. Saya tahu beberapa PNS yang kini berpoligami; dan hampir tidak ada penegakan hukum terhadap mereka. Juga karena meningkatnya tuntutan kebolehan poligami.

Dalam beberapa kajian saya dan banyak kajian lain tentang perundangan Indonesia mengenai masalah ini saya menemukan, posisi perempuan Muslimah lebih terlindungi pasca UU Perkawinan 1974. Jelas, suami tidak bisa lagi seenaknya melakukan poligami; ia harus mendapat izin dari istrinya dan bahkan juga atasannya jika ia pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.

Sepatutnya kita mendukung pengetatan praktik poligami. Karena dengan begitu, kita bukan hanya melindungi kaum perempuan, tapi juga tidak kurang pentingnya dapat lebih punya peluang untuk mewujudkan keluarga sakinah yang mudah-mudahan penuh mawaddah wa rahmah.

(Azyumardi Azra)

sumber : http://azyumardiazra.com/

Kartini, Sukarno : Pikiran Tentang Poligami dan Paradoks Hidup

Debat pro-kontra masalah poligami bukan saat ini saja mengemuka. Jauh sebelum kemerdekaan isu mengenai poligami sudah ramai dibicarakan tokoh-tokoh bangsa.

Dalam surat-suratnya, yang kemudian diterbitkan [dalam Habis Gelap Terbitlah Terang atau dalam kompilasi Surat-Surat Kartini], Kartini banyak memberikan opininya mengenai poligami. Terlahir dari seorang istri selir Bupati, dalam budaya bangsawan yang poligami merupakan sebuah kewajaran Kartini menyuarakan penolakannya terhadap poligami. Ia menyebut poligami merupakan wujud egoisme lelaki. Tentu saja apa yang dia ungkapan, untuk berbaik sangka padanya, kita juga harus memberikan perhatian terhadap kenyataan aktual negatif dari penerapan poligami di masanya sebagaimana yang dia lihat atau rasakan.

Sukarno pernah terlibat perdebatan mengenai poligami dengan H. Agus Salim sekitar 1929. M. Natsir bersama dengan A. Hasan pernah bertemu dengan Sukarno dan menyampaikan kritik terhadap partainya [baca PNI] yang suka menjelek-jelekkan agama Islam, isu poligami salah satunya [sebuah roman biografi Inggit, Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH, menuliskan dialog yang terjadi antara mereka berempat].

Paradoksnya, Kartini akhirnya menjadi istri ke-empat dari Bupati Jepara. Setelah pernikahannya, surat-surat Kartini tidak lagi bernada menghujat poligami.

Paradoksnya, menjelang kemerdekaan Sukarno akhirnya menikah dengan Fatmawati, [Inggit konsisten dengan sikapnya yang tidak mau dimadu sehingga dia meminta cerai]. Sampai tahun enam puluhan tercatat kurang lebih 8 orang yang tercatat pernah menjadi istri Sukarno, sampai akhir hayatnya beberapa orang masih tercatat resmi sebagai istrinya [poligami]. H. Agus Salim kawan debat Sukarno ketika itu justru bertahan dalam monogami.

Saat melakukan kritik terhadap isu-isu di atas, Kartini dan Sukarno berdiri dalam posisi memenangkan logika atau nalar terhadap permasalahan yang ada. Ketika pilihan-pilihan hidup harus ditentukan, nalar saja tidak mencukupi atau bahkan nalar semata bisa saja dikorbankan; orang bisa menyebutnya sebagai pilihan-pilihan eksistensial.

sumber : http://www.ukhuwah.or.id/dr/node/202

POLIGAMI DAN MORAL BANGSA

Oleh: Ferawati*

Pendahuluan
Rata Penuh
Syari`at Islam yang berkaitan dengan urusan poligami (lelaki boleh menikahi perempuan lebih dari satu dan maksimal empat) telah melahirkan kontroversi dan memunculkan sikap-sikap aneh dari sebagian orang yang membenci dan berjuang keras untuk melenyapkannya dari muka bumi Allah ini. Orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan Muslimah tidak malu-malu mengeluarkan berbagai fitnah terhadap sistem poligami yang dibenarkan oleh Allah dalam batas dan dengan syarat-syarat yang benar, adil dan proporsional.

Stigmatisasi terorisme terhadap para mujahid penegak syari`at Islam, yang dipropagandakan Amerika, Australia, Filipina, dan Singapura, berpengaruh cukup besar terhadap berkembangnya aktivitas mereka. Stamina intelektual ini kian bergairah setelah diinjeksi melalui isu demokratisasi, pluralisme dan hak asasi manusia. Termasuk meluasnya dekadensi moral, kemungkaran intelektual, maupun penyimpangan pemikiran Islam yang mereka sosialisasikan melalui jaringan kerja kelompok liberal Islam dan para pengusung kesetaraan gender. Oleh karena itu, mereka semakin berani bahkan untuk merevisi sejumlah ayat al-Qur`an yang dianggap diskriminatif terhadap kaum perempuan. Seperti yang dilakukan Dr. Siti Musda Mulia, 46 tahun, dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, yang berambisi menghapuskan sejumlah ayat al-Qur`an melalui tangan kekuasaan. Melalui “Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (KHI)” kelompok yang menyebut dirinya tim pengarus-utamaan gender bentukan Departemen Agama, periode akhir Menag Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar (Agustus 2004) mengusulkan rumusan baru fikih Islam yang diselaraskan dengan karakteristik demokrasi dan pluralisme.

Tim ini sengaja dibentuk, dengan maksud mengganjal syariat Islam, melakukan pembaharuan terhadap Islam yang dianggap out of date, terutama dalam bidang perkawinan (nikah, talak, dan rujuk) yang mereka nilai sebagai segmen diskriminatif bagi kaum perempuan. Mereka, secara apriori, mengaku menemukan ketidak-adilan yang menimpa kaum perempuan. Lalu, seperti biasanya mereka menuduh kaum fundamentalis telah melakukan kesalahan epistimologis, karena hanya berorientasi pada teks al-Qur`an dan sunnah tanpa memandang konteks masyarakat setempat. Karena itulah, mereka berambisi menghapus sejumlah ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengusulkan supaya poligami dilarang. Alasannya, asas perkawinan adalah monogami. Selain itu, calon suami atau calon istri harus berusia minimal 19 tahun. Mereka, para calon istri dapat mengawinkan dirinya sendiri dengan syarat tertentu.

Menolak poligami, berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah. Jelas ini pelaggaran terhadap ketetapan Allah di dalam al-Qur`an surat an-Nisa`, 4:3 yang mengizinkan laki-laki menikahi wanita lebih dari satu.

Menurut tim PUG, poligami haram bighairihi, yaitu karena adanya ekses negatif dari pelaku poligami, berdasarkan penelitian mereka poligami menjadi sebab anak terlantar, dan tidak harmonisnya perkawinan. Jika karena akibat buruknya menjadi alasan ditolaknya poligami, penolakan demikian bersifat spekulatif. Mengapa monogami juga tidak dilarang? Bukankah dari kalangan pelaku monogami jauh lebih banyak yang menelantarkan anak dan istrinya; serta memperlakukan mereka dengan tidak adil, dibandingkan pelaku poligami?

Untungnya, usulan draf ini dibatalkan oleh Menag yang baru, Maftuh Basyumi. Jika tidak, niscaya usulan itu bisa memotivasi masyarakat untuk mengingkari nilai-nilai syari`at Islam, dan menjadi alasan legalisasi prostitusi di negeri yang sudah membudaya perilaku pornografi ini.

Menjawab Keraguan Tentang Bolehnya Poligami

Menurut kalangan anti-poligami, Islam sesungguhnya melarang poligami. Alasannya, di dalam surat al-Nisa’ ayat 3 poligami memang diperbolehkan. Akan tetapi itu bisa dilakukan apabila suami memenuhi syaratnya, yaitu harus adil. Sedangkan di dalam surat al-Nisa’ ayat 129 disebutkan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Jika kedua ayat tersebut dipadukan, maka kesimpulan yang didapat adalah larangan poligami. Sebab, pada ayat pertama berisi kebolehan dengan syarat adil, sementara ayat lainnya memberitahukan bahwa manusia tidak akan berbuat adil, yang berarti manusia tidak akan dapat memenuhi syarat tersebut. Sebuah kesimpulan yang tampak logis. Namun, benarkah demikian?

Apabila kesimpulan itu benar, tentulah Rasulullah saw akan melarang sama sekali praktik poligami. Sebab apa pun alasannya, poligami hanya akan mengantarkan kepada laki-laki terjatuh kepada dosa lantaran tidak bisa berbuat adil. Pada hal kenyataannya tidak demikian. Riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi saw justru membolehkan praktik poligami.

Ahmad dan al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada Ghailan bin Salamah yang memiliki 10 orang isteri untuk memilih 4 isteri di antara mereka dan menceraikan selebihnya ketika ia masuk Islam. Perintah yang sama juga ditujukan kepada Qais bin Tsabit yang beristeri 8 dan Naufal bin Mua’awiyyah yang beristeri 5. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak melarang kepada mereka untuk beristeri lebih dari satu. Hanya saja, sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Nur ayat 3, tidak boleh melebih empat isteri. Di samping itu, Rasulullah saw juga melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) agar ia dapat menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya karena sesungguhnya bagi dirinya bagian yang telah ditetapkan (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra).

Sikap Rasulullah saw itu jelas menunjukkan kebolehan poligami, sekaligus kesalahan kesimpulan kalangan anti-poligami. Sebab, orang paling otoritatif dan dijamin tidak salah dalam menjelaskan makna al-Quran Rasulullah saw (lihat QS al-Nahl: 44).
Jika kesimpulan kalangan anti-poligami telah terbukti salah karena bertentangan dengan penjelasan Rasulullah saw, bagaimana mendudukan dua ayat di atas. Harus dipahami bahwa surat al-Nisa ayat 3 itu tidak memberikan syarat adil dalam poligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai sebuah kalimat sempurna). Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan—atau merupakan bagian dari—kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan).

Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini: Fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil)-sebagai suatu kalimat yang satu. Akan tetapi, hal yang demikian, menurut an-Nabhani, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkan poligami. Akan tetapi berlaku adil merupakan kewajiban yang harus ditunaikan suami terhadap isteri-isterinya. Apabila kewajiban itu diabaikan, dia akan mendapatkan dosa. Sehingga, bagi siapa pun yang khawatir tidak bisa berbuat adil, dia dianjurkan membatasi satu isteri saja.

Patut juga ditegaskan, dalam fiqh Islam istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk kepada kondisi atau perbuatan yang tidak menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Biasanya, harus dipenuhi sebelum perbuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami terhadap isterinya. Andai adil merupakan syarat sah poligami adalah adil, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan?

Lantas bagaimana dengan QS an Nisa: 129 yang seakan-akan menyebutkan manusia tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istri mereka . Kedua ayat tersebut ( An Nisa 3 dan 129) tersebut tidak boleh diletakkan secara berhadapan akan tetapi dalam kerangka mengkhususkan yang umum (takhsîsh al-'âm). Perintah berlaku adil dalam surat al-Nisa’ ayat 3 itu bersifat umum. Sementara berlaku adil ayat 129 bersifat khusus. Sehingga kedua ayat itu memberikan makna, wajib menunaikan kewajiban terhadap isteri-isterinya dengan berlaku adil terhadap mereka kecuali dalam perkara-perkara yang mereka tidak mungkin melakukannya.

Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas ra menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kecendrungan kasih sayang dan selera syahwat seksual suami terhadap istri-istrinya.. Dalam persoalan cinta kasih, Rasulullah saw lebih condong kepada ‘Aisyah daripada isteri-isteri lainnya. Meskipun demikian, sikap itu tidak boleh mengakibatkan hak-hak isteri yang lain terabaikan. Sehingga, dalam ayat 129 juga dinyatakan: Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Sedangkan dalam perkara-perkara yang berada dalam batas kemampuan manusia, seperti pemberian nafkah, sikap dan perlakuan lahiriah, giliran, dan semacamnya, suami wajib berlaku adil. Dengan demikian ini, jelaslah bahwa ayat 129 tidak berfungsi membatalkan ayat 3 seperti anggapan kalangan anti-poligami.

Rasulullah SAW Melarang Poligami...?

Kalangan anti-poligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulullah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).

Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyanding putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain. Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. "Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, "Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah." (H.R. Bukhari)

Sementara berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akibat praktik poligami sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Solusinya, tentu bukan melarang poligami, namun meluruskan praktik yang salah itu. Pula, kekerasan bukan monopoli keluarga poligami. Dalam keluarga monogami pun banyak ditemukan kekerasan. Apakah lantaran itu monogami juga harus dilarang?

Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Dan itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan anti-poligami. Sebaliknya isteri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Bahkan jika ia memahami poligami sebagai tindakan mulia, dengan sukarela dia mencari isteri bagi suaminya sebagaimana yang terjadi pada kalangan aktivis Islam. Penggunaan alasan HAM untuk melarang poligami juga tampak aneh. Hak siapakah yang dilanggar ketika seorang suami memutuskan untuk poligami apalagi jika isteri pertamanya juga meridhai? Mengapa alasan serupa tidak digunakan untuk melarang praktik perzinaan dan perselingkuhan, malah dilokalisasi dan dilegalisasi? Padahal, perzinaan merupakan perilaku amoral yang menghancurkan masyarakat dan kehidupan.

Poligami Meningkatkan Moralitas Bangsa

Poligami menurut sejarahnya adalah bentuk pernikahan yang banyak diperaktekkan diseluruh dunia, dan diterima secara luas dibanding perkawinan monogami. Poligami adalah bentuk pernikahan yang hanya mendapatkan cap miring (prasangka negatif) di dalam budaya Eropa Barat, dan terutama Amerika. Apa yang menyebabkan poligami disikapi dengan begitu emosional dan senantiasa mengundang cercaan? Sedang pada saat yang sama pernikahan kaum homoseks justru lebih diterima, apa yang sebenarnya dipermasalahkan mengenai poligami ini?

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dalam situasi dan kondisi normal, monografi merupakan peraturan yang wajar. Akan tetapi dalam keadaan perang, dimana banyak lelaki terbunuh yang menyebabkan jumlah wanita melebihi laki-laki, tentu saja memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasi keadaan berlebihnya jumlah wanita. Maka poligami (beristri lebih dari satu, maksimal empat), sesunggunya merupakan anugerah bagi wanita dan merupakan solusi yang sehat. Karena itu poligami merupakan obat mujarab bagi kehidupan seks yang bermoral dan merupakan konsekuensi logis, sekalipun hal itu tidak diharapkan oleh kaum wanita.

Setelah berakhir perang dunia ke II muncul rencana perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, para negarawan menemui kesulitan untuk mengatasi kelebihan jumlah wanita. Kenyataan tersebut pernah dilaporkan oleh koran Statesman (1945) sebagai berikut :

“London, 17 September – lebih dari tiga wanita di Inggris Raya ditakdirkan menjalankan kehidupan seorang diri tanpa adanya harapan untuk mendapatkan suami, anak maupun rumah.”

“Saat ini ketika perang telah membinasakan hampir 300.000 laki-laki dan menyisakan ribuan lainnya cacat sehingga tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat tidur mereka.”

“Apa yang akan terjadi pada ribuan gadis yang kehilangan suami atau kekasih mereka, hal ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi Inggris pasca perang.”

“Bahkan jika seluruh laki-laki memutuskan untuk menikah, diperkirakan masih ada empat juta wanita yang tidak akan mendapatkan suami. Tetapi catatan yang ada membuktikan bahwa separuh dari populasi pria di Inggris tetap membujang”.

“Kekurangan laki-laki tidak hanya terjadi di Inggris. Di Amerika terdapat dua belas juta wanita yang belum menikah, sedangkan jumlah pria yang belum menikah sebanyak sembilan juta. Dibanyak negara Eropa, laki-laki bahkan hampir punah”.

Terhadap fakta yang merisaukan ini Dr. David Mace, Sekretaris Dewan Bimbingan Perkawinan di Inggris, mengajukan solusi:”satu-satunya penyelesaian yang mungkin adalah menarik perhatian wanita kepada karir, supaya mereka bisa mengisi waktunya.”

Apa yang dikemukakan oleh Dr. David Mace justru membuat keadaan menjadi parah dari keadaan yang sesungguhnya terjadi. Karena cara semacam itu tidak akan mencegah munculnya perilaku seksual yang korup atau rusak secara besar-besaran. Oleh karena itu, cara yang tepat mengatasi situasi semacam ini adalah dengan poligami. Dr. C.G. Jung (Psikolog) dalam observasinya yang mendalam berkenaan dengan spiritual manusia modern memberikan kesaksian sesuai dengan kegunaan institusi poligami. Ia mengatakan:”Penghapusan poligami oleh para misionaris di Afrika telah meningkatkan jumlah prostitusi. Di Uganda saja diperlukan dana 20.000.000 Pound Sterling setiap tahun sebagai biaya pencegahan penularan penyakit seksual, belum lagi resiko terjadinya dekadensi nilai moral.”

Mr. M. N. Roy –seorang komunis India yag terkenal- mengadakan penelitian yang sama, dan mempublikasikannya melalui artikel berjudul:”The Stucture of Chinese Society” dalam Modern Review bulan Agustus 1938. Dia menuliskan, “keluarga monogami merupakan institusi sosial yang muncul disebabkan oleh evolusi kekayaan pribadi. Individualisme merupakan prinsip fundamental dari kapitalis, bentuk tertinggi dari kekayaan pribadi. Oleh karena itu, aturan yang ada dalam al-Qur`an tentang poligami dapat diterapkan bukan hanya sebagai solusi terhadap kelebihan jumlah wanita akibat perang, tetapi juga sebagai hal yang seharusnya dilaksanakan dalam kehidupan sosial untuk mencegah ancaman terhadap penumpukan harta kekayaan.”

Prof. George Anquetil, dalam menerangkan manfaat dan keuntungan perkawinan poligami, antara lain menyebutkan:

1. Poligami memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya, memanifestasikan rasa cinta dan kodrat keibuan, yang jika tidak ada poligami, mereka terpaksa hidup tanpa suami, akibat sistem monogami.
2. Poligami mengurangi penyebab terjadinya banyak perceraian, kejahatan karena permainan cinta kemunafikan dalam rumah tangga-rumah tangga yang kurang sehat, berkurangnya jumlah penduduk pembunuh anak-anak dan menyerahkan bayi-bayi kepada lembaga sosial.

Dr. Annie Besant menyatakan:”ketika kita melihat ribuan wanita yang sengsara memenuhi jalan-jalan dinegara Barat pada malam hari, kita pasti merasa bahwa tidak ada pikiran orang Barat untuk mengikuti cara Islam tentang poligami. Jauh lebih baik seorang wanita, lebih bahagia untuk seorang wanita, lebih terhormat untuk seorang wanita dengan hidup dalam poligami seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Menikah dengan satu orang laki-laki, dengan anak resmi dalam pelukannya dan dihormati dari pada dirayu dan diusir kejalanan –mungkin dengan anak haram yang tidak terlindung oleh hukum- tidak mempunyai tepat tinggal dan tidak terurus, serta menjadi korban dari siapapun yang lewat pada malam hari, yang terlebih lagi menjadikannya tidak mampu untuk menjalankan tugas sebagai seorang ibu.”

Poligami memang bukan untuk setiap orang. Sepanjang individu memiliki waktu, energi, perhatian, dan kasih sayang yang dibutuhkan, apakah sebenarnya yang dibutuhkan, apakah yang sebenarnya dipersoalkan dalam hal pria yang memiliki istri lebih dari satu? Sementara sekarang ini masyarakat kita mendorong wanita untuk membuat pilihan secara mandiri, dan setiap individu dapat mewujudkan potensi unik mereka, maka jika ada seorang wanita yang memutuskan untuk berpoligami, adakah orang lain yang berhak melarangnya untuk menjalankan pilihannya itu? Pelecehan dan eksploitasi tidaklah dapat ditoleransi, demikian juga dalam hal apapun didalam masyarakat kita. Poligami bukan sebuah bentuk pelecehan. Poligami adalah sebuah pilihan yang sudah digariskan Tuhan bagi sebagian orang. Wallahua`lam..

DAFTAR PUSTAKA
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/12/tgl/19/tim
http://www.HTI.htm
Yunahar Ilyas. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur`an. Yogyakarta. Labda Press. 2006
Software Terjemahan al-Qur`an
Muhammad Thalib. Orang Barat Bicara Poligami. Wihdah Press. 2004
www.hidayatullah.com
Hamid Fahmy Zarkasyi. Tantangan Sekulerisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam. Jakarta. Khoirul Bayan. 2004
_____________________________
* Penulis adalah Kader IMM Cabang Djazman Al-Kindi Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Perkaderan DAM DPD IMM Riau di Pekanbaru

sumber : http://www.dpdimmriau.co.cc/2008/07/poligami-dan-moral-bangsa_5666.html

Menggugat Poligami

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia

Disarikan dari Buku “Islam Menggugat Poligami” karya: Prof. Dr. Siti Musdah Mulia terbitan Gramedia, 2005

Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena dipertontonkan secara vulgar oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan. Poligami sesungguhnya merupakan akumulasi dari sedikitnya tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya Undang-undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat yang memandang isteri hanyalah konco wingking, harus ikut apa mau suami dan tidak boleh menolak; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Interpretasi agama yang memposisikan isteri hanya sebagai obyek seksual, tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh. Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah betul Islam mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan bagaimana seharusnya kita membaca teks-teks agama yang secara tekstual bicara tentang poligami?

Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua hal: Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah, sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, "it was too modern to succed" komentarnya.

Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Layaknya kasus khamer (minuman memabukkan), larangan khamer tidak diturunkan sekaligus, demikian pula larangan terhadap perbudakan, melainkan dilarang secara bertahap sehingga terbangun kesiapan masyarakat untuk menerimanya secara mental dan sosial. Sebab, tradisi minum khamer begitu juga perbudakan sudah demikian berakar dalam tradisi masyarakat sehingga mustahil rasanya melarang mereka minum atau membasmi perbudakan secara total. Semua ayat Al-Qur`an menggunakan ungkapan sesuai dengan keadaan masa turunnya, tetapi pesan moral Al-Qur`an tidaklah dibatasi oleh waktu yang bersifat historis itu. Pesan moral keagamaan dibalik ayat-ayat poligami, perbudakan, dan larangan minuman keras adalah menyadarkan manusia akan martabat kemanusiaannya, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling bermartabat. Manusia harus menghormati sesamanya tanpa perbedaan apa pun, jangan menganiaya diri sendiri, apalagi menganiaya orang lain.

Muhammad Rasulullah pembawa risalah Islam hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani sebelum kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba`da bi`tsah). Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam.

Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.

Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai “amul azmi” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.

Patut direnungkan bahwa perempuan pertama yang dinikahi Rasul setelah Khadijah bernama Saudah bint Zam`ah berumur 65 tahun, sebagian riwayat menyebutkan 72 tahun, dan yang pasti sudah menopause, sedangkan Rasul berusia 54 tahun. Rasul mengawini Saudah demi melindungi perempuan tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Atau mungkin juga sebagai balas budi atas jasa suaminya, Sakran ibn Amar, sahabat yang menyertai Rasul dalam perjalanan hijrah ke Abessinia. Setelah Saudah, Rasul menikahi Aisyah bint Abu Bakar, satu-satunya istri yang perawan dan masih muda, bahkan terlalu muda. Pada masa itu mengawini anak-anak belum dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak anak (child abuse). Selanjutnya, Rasul berturut-turut mengawini Hafsah bint Umar ibn al-Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Juwayriyah bint Haris, Safiyyah bint Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan yang terakhir dengan Maimunah bint Harits terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah. Semua perkawinan Rasul ini berlangsung di Madinah dan terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek, yakni dalam 5 tahun. Jarak antara satu perkawinan dan perkawinan lainnya sangat pendek. Rasul wafat pada 632 M. atau tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Menarik bahwa tidak satupun dari para isteri itu yang pernah diceraikan. Memang pernah ada gosip Rasul menceraikan Hafsah, tetapi setelah diklarifikasi oleh Umar ibn Khattab ternyata gosip itu tidak benar.

Rasul memperlakukan para isterinya secara adil dan bijaksana. Jika Rasul akan mengikutkan salah seorang di antara mereka dalam perjalanan maka mereka diundi dengan maksud menghindari kecemburuan dan iri hati di antara mereka. Kendati Rasul telah berupaya melakukan yang terbaik bagi para isterinya, namun kecemburuan, konflik, dan ketidakakuran di antara mereka tetap saja terjadi dan ini diabadikan dalam kitab-kitab sirah Rasul. Sebagian isteri Rasul telah berumur, punya banyak anak, dan janda para sahabat yang gugur dalam membela Islam. Dari kesebelas istrinya itu Rasul tidak dikaruniai anak. Data-data ini cukup menjelaskan bahwa alasan Rasul menikahi perempuan lebih dari satu sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis sebagaimana dituduhkan.

Kesalehan dan kemuliaan akhlak Rasul dalam memilih isteri digambarkan dalam banyak hadis, di antaranya hadis Amrah bint Abdurrahman: "Rasulullah ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar yang sangat terkenal kecantikannya? Rasul menjawab: "Mereka adalah para perempuan yang sangat pencemburu dan tidak akan bersabar dimadu", sementara Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal itu." Jawaban Rasul mempertegas kebenaran bahwa poligami dapat menyakiti hati perempuan. Rasul terlalu mulia untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau diutus demi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang sudah sangat terpuruk. Terbukti Rasul tidak memilih perempuan muda dan cantik sebagaimana lazim dilakukan laki-laki. Tujuan perkawinan Rasul bukan untuk memenuhi hasrat biologisnya, melainkan untuk kepentingan yang lebih mulia, yaitu menjaga keselamatan umat menuju tegaknya masyarakat Madinah yang didambakan. Sekarang, jika umat Islam ingin mengikuti sunah Rasul dalam perkawinan, pilihan bijak tentulah mengikuti perkawinan monogami Rasul yang penuh kebahagiaan dan berlangsung sekitar 28 tahun, bukan perkawinan dengan banyak isteri yang hanya berlangsung kurang-lebih 6 tahun.

Perlu pula dicatat, meskipun Rasul menikahi lebih dari satu perempuan, namun tetap saja beliau tidak setuju anak perempuannya, Fatimah az-Zahra dimadu. Rasul marah dan mengecam menantunya, Ali ibn Abi Thalib yang berniat poligami. Sejumlah hadis sahih, diantaranya dari al-Miswar ibn Makhramah meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasul berpidato di atas mimbar: "Sesungguhnya keluarga Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Dengarlah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku baru menikahi anak mereka. Ketahuilah, Fatimah adalah belahan jiwaku. Barangsiapa membahagiakan Fatimah berarti membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku." Sejumlah kitab hadis terkenal. seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizi, Musnad Ahmad, dan Sunan Ibnu Majah meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama. Dari perspektif ilmu hadis mengindikasikan hadis itu diriwayatkan secara lafzi. Artinya, sangat terjamin kesahihannya. Hadis itu membuktikan betapa Rasul tidak setuju poligami. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga kali pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat Ali berpoligami. Sejarah pun mencatat, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat. Sebagai Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan terhadap anak perempuan dan penolakannya yang keras terhadap poligami akan diteladani para ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuannya dimadu? Sebab, hanya perkawinan monogami yang menjanjikan terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak bertepi), mu'asyarah bi al-ma'ruf (kesantunan dan kesopanan), sa'adah (kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian).

Hadis tersebut bisa juga mengandung makna betapa beratnya tanggung jawab suami dalam poligami sehingga hanya manusia setingkat Rasul yang mampu melakukannya secara adil sesuai ketentuan syari`ah. Pandangan seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya ketentuan hukum mengenai keharaman poligami dalam Undang-Undang Keluarga di Tunisia. Tunisia merupakan negara kedua di Dunia Islam yang mengharamkan poligami setelah Turki. Tunisia adalah negara Islam yang konstitusinya berbasiskan Syari'at Islam, tetapi mengharamkan poligami dengan alasan poligami yang dipraktekkan umat Islam sekarang bertentangan dengan perilaku Rasul. Poligami umat Islam sudah mencapai tahap crime against humanity (pelanggaran terhadap kemanusiaan). Undang-undang Keluarga negara Islam lainnya, seperti Mesir, Syria, dan Marokko meskipun tidak seketat Tunisia juga sangat membatasi poligami sebagai bentuk proteksi negara terhadap warganya yang rentan, yakni para anak dan isteri. Sebagian ulama, seperti Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi an-Na'im berpendapat poligami hanya dibolehkan pada masa-masa awal Islam dan dilarang ketika umat Islam sudah menjadi masyarakat yang beradab. Ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang poligami lebih bernuansa pelarangan ketimbang pembolehan. Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja dalam implementasinya sangat lemah. Inilah masalahnya!!!. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami poligami. Kebanyakan suami poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan mereka melakukannya tanpa izin isteri sehingga poligaminya dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan resmi. Kebanyakan suami berpoligami bukan karena isterinya tidak punya anak, atau sakit atau tidak melakukan kewajiban, melainkan semata karena tidak mampu mengekang keinginan syahwatnya. Lagi-lagi soal biologis!!! Karena itu, manejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat.

Mengapa semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan dan kepentingan perempuan? Bagaimana jika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya? Bagaimana jika suami cacat atau ditimpa penyakit? Bagaimana jika suami mandul? Apakah Pengadilan Agama juga akan memberi izin kepada istri menikah lagi? Ketentuan tentang poligami dalam UUP jelas menunjukkan posisi inferior dan subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Dan ini sungguh bertentangan dengan esensi Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan.

Alasan pembolehan poligami itu pun menyalahi tuntunan Allah dalam Q.S. an-Nisa, 4:19: "...Dan perlakukanlah isterimu dengan cara-cara sopan lagi santun. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." Pesan moral ayat ini justru meminta suami bersabar atau tabah menghadapi kekurangan isteri karena mungkin itu ada hikmahnya, bukan lalu mencari isteri lain. Sebaliknya, kalau suami punya kekurangan, maka isteri pun harus bisa menerima itu sebagai kenyataan. Dja'far al-Shadiq, ulama besar pada periode awal Islam menjelaskan bahwa dalam perkawinan Islam hanya ada dua pilihan bagi suami: hidup bersama isteri dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan atau berpisah dengan cara yang santun (Q.S. an-Nisa, 4: 21). Tidak ada pilihan ketiga. Bukankah inti dari perkawinan Islam adalah komitmen untuk hidup bersama dalam suka dan duka menuju keridhaan Tuhan. Indah sekali ! Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna: bermakna bagi dirinya sendiri, bagi pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi alam semesta. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan, sekaligus rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta). In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a'lam bi al-shawab.

sumber : http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=208

Sabtu, 09 Agustus 2008

Poligami : Enak (dibahas) dan Perlu!

Menanggapi adanya perbedaan pandangan tentang artikel poligami yang saya posting beberapa saat lalu (yang saya dapat dari forward dari teman), saya "diingatkan" seseorang untuk tidak asal saja memposting artikel yang dapat mempertipis iman atau menimbulkan
perdebatan.
Maka itu dengan berpijak pada QS 4:3, saya mencoba menyajikan fakta2 yang terdapat di masyarakat di dunia. Setelah itu kita bisa me-mix and match antara kalam Allah di ayat itu dengan fakta yang ada.

"Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak (perempuan) yatim maka kawinlah dengan perempuan yang menyenangkan hatimu dua dan tiga dan empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka kawinlah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat agar tidak melanggar yang benar." (QS 4:3)


+++Sebab Turunnya Ayat

Bukhari, Abu Daud, Nasa'I dan Tirmizi dari Urwah bin Zubair, bahwa ia bertanya kepada Aisyah, istri Nabi SAW tentang ayat-ayat tersebut lalu jawabnya : "Wahai anak saudara perempuanku, yatim di ini maksudnya adalah anak perempuan yatim yang ada di bawah asuhan walinya punya harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya, dan hartanya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim ini senang padanya lalu ia ingin menjadikan perempuan yatim ini sebagai istrinya, tapi tidak mau memberi mas kawin kepadanya dengan adil, yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan mas kawin yang diberikan kepada perempuan lain. Maka pengasuh anak
yatim seperti ini dilarang mengawini mereka kecuali mau berlaku adil. Jika tidak dapat berlaku adil, mereka disuruh kawin dengan perempuan lain yang disenanginya. (Sabiq, Sayyid, 1978:166).

+++Tentang Adil

Allah Ta'ala MEMBOLEHKAN poligami dengan batasan sampai 4 orang istri saja dan MEWAJIBKAN berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, tempat tinggal, pakaian, atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya atau miskin dari asal keturunan tinggi maupun rendah.

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi semua hak-hak mereka, maka diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga orang istri, maka haram beristri empat. Jika ia hanya sanggup beristri dua, maka haram baginya mempunyai tiga istri.
Demikian seterusnya. (Sabiq, Sayyid, 1978:171)

Dari Abu Hurairah Nabi SAW bersabda :
"Barang siapa punya dua istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat dengan bahunya miring." (HR.Abu Daud, Tirmizi, Nasa'I dan Ibnu Majah)

Firman Allah :
"Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun kamu sangat menghendakinya. Karena itu janganlah kamu miring semiring-miringnya kepada salah seorang istrimu, sedangkan yang lain kau biarkan ibarat barang tergantung." (QS 4:129)

Muhammad bin Sirrin berkata : Saya telah menanyakan soal ayat ini kepada Ubaidah. Jawabnya : Yaitu dalam cinta dan bersetubuh. (Sabiq, Sayyid, 1978:173)

Aisyah berkata :
Rasulullah selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan beliau pernah berdoa : "Ya Allah, Ini bagianku yang dapat kukerjakan. Karena itu janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau kuasai sedang aku tidak menguasainya." Kata Abu Daud : Yang dimaksud dengan Engkau kuasai tetapi aku tidak kuasai yaitu "hati". (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa'I dan Ibnu Majah)

+++Hak Perempuan

Islam juga memberikan perempuan atau walinya untuk mensyaratkan kepada suaminya agar dia tidak dimadu. Jika syarat yang diberikan oleh istri ini dilakukan ketika ijab qabul maka syarat ini sah dan mengikat, sehingga ia berhak membatalkan perkawinannya jika syarat ini tidak dipenuhi suaminya. Namun hak membatalkan perkawinan ini hilang jika ia rela akan pelanggaran suaminya. Demikian pendapat Imam Ahmad dan dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibul Qayyim. (Sabiq, Sayyid, 1978:175)

+++Fakta-fakta yang patut dipertimbangkan :

1. Ketimpangan jumlah antara perempuan dan laki2

Di AS jumlah perempuan 8x lebih banyak dari laki2.
Di Guinea ada 122 perempuan untuk 100 laki2. Setelah PD II, di Jerman jumlah perempuan adalah 7,3 juta lebih banyak dari laki2 (3,3 jutanya adalah janda). Banyak dari perempuan2 itu yang membutuhkan laki2 bukan hanya sebagai pendamping tapi juga sebagai pemberi
nafkah keluarga. Pasukan Sekutu (AS-Inggris) banyak yang memberikan perempuan2 itu rokok, cokelat dan roti sebagai imbalan dari hubungan intim yang diberikan. Seorang anak berumur 10 tahun pada saat mendengar adanya pemberian semacam itu berharap ibunya bisa mendapatkan laki2 diantara pasukan Sekutu itu supaya mereka tidak kelaparan lagi (Frevert, 1998:263-264).

Di AS ada krisis gender pada masyarakat kulit hitam.
1 dari 20 pria kulit hitam meninggal dunia sebelum berumur 21 tahun. Bagi yang berumur 20-35, penyebab kematian utama adalah pembunuhan. (Hare dan Here, 1989:25). Disamping itu banyak laki2 kulit hitam yang tidak punya pekerjaan, dipenjara atau kecanduan obat (Harrre dan Here, 1989:26). Akibatnya 1 dari 4 perempuan kulit hitam, pada umur 40 tidak pernah menikah, dan pada perempuan kulit putih terdapat 1 dari 10 perempuan tidak pernah menikah pada usia yang sama (Kilbridge, 1994:94). Banyak perempuan kulit hitam
menjadi single mother sebelum usia 20 th. Akibat ketimpangan dalam man-sharing, perempuan2 ini banyak yang kemudian menjalin hubungan selingkuh dengan laki2 yang sudah menikah (Kilbridge, 1994:95).

Jadi...sebetulnya mana yang lebih baik menjadi istri kedua (ketiga atau keempat) yang sah dimata manusia dan Allah, atau "prostitusi terselubung" seperti yang dilakukan pasukan Sekutu (yang sebetulnya di masyarakat kita juga mulai "membudaya")???????

2. Praktek poligami

Sejak zaman dahulu pria ber-poligami. Para nabi juga, contohnya nabi Ibrahim. Para Raja, contoh terdekat raja-raja di Jawa. Jadi sebetulnya poligami itu bukan hal yang aneh, tapi memang tidak semua laki2 mampu untuk poligami.

Banyak perempuan muda Afrika, baik Islam maupun Kristen, lebih suka dinikahi laki-laki yang sudah menikah karena telah terbukti
dapat bertanggung jawab. Sebuah penelitian terhadap perempuan berumur 15-59 tahun, yang dilakukan di kota terbesar kedua di Nigeria menunjukkan bahwa 60% perempuan akan senang kalau suami mereka beristri lagi. Hanya 23% yang mengungkapkan tidak suka ide poligami. Penelitian di Kenya menyatakan 76% perempuan melihat poligami itu positif. Penelitian di pedesaan Kenya menunjukkan 25 dari 27 perempuan menganggap poligami lebih baik dari monogamy. Perempuan2 itu menganggap poligami dapat menguntungkan jika istri2 itu
bekerjasama satu sama lain (Kilbridge 1994:108-109).

3. Setuju pada poligami

Dr. M. Yusuf Musa berkata : Saya mengikuti Konferensi Pemuda Int'l di Munich, Jerman Barat, 1948 dan membahas persoalan
ketidakseimbangan jumlah perempuan dan laki-laki. Usulan poligami pada awalnya tidak disetujui. Namun setelah dikaji lebih mendalam, peserta sependapat bahwa poigami adalah solusi. Akhirnya poligami dimasukkan sebagai salah satu rekomendasi pesrta konferensi. Tahun 1949 saya mendengar nahwa penduduk kota Bonn ibukota Jerman Barat menuntut agar dalam undang-undang negara dituangkan ketentuan
yang membolehkan poligami. (Sabiq, 1978:191)

Pada diskusi panel di Temple University, Philadelphia, 27 Januari 1993, dibicarakan ttg man-sharing / satu laki2 untuk beberapa wanita (Kilbridge, 1994:95-99). Sebagian pembicara menganjurkan poligami sebagai pemecahan masalah. Tahun 1987, sebuah polling yang dilakukan koran mahasiswa Universitas California di Berkeley menanyakan para mahasiswa apakah setuju jika laki2 diperbolehkan secara hukum untuk memiki lebih dari 1 istri untuk mengatasi keterbatasan jumlah calon pengantin laki2 di California. Hampir seluruh mahasiswa yang mengikuti polling setuju. Salah seorang mahasiswa perempuan mengatakan bahwa perkawinan poligami akan memenuhi kebutuhan emosi dan
fisiknya di samping memberikan kebebasan yang lebih besar daripada perkawinan monogamy (Lang, 1994:172). Argumen yang sama dikemukakan perempuan Mormon fundamentalis yang menjalani poligami di AS. Mereka yakin poligami cara yang ideal bagi perempuan untuk memiliki karir dan anak2 karena istri2 itu dapat saling membantu dalam mengurus anak2 (Kilbridge, 1994:72-73).

Poligami dalam Islam adalah persoalan kesepakatan bersama. Tidak seorang pun yang dapat memaksa perempuan untuk menikah dengan orang yang sudah menikah. Seorang istri juga berhak untuk membuat persyaratan bahwa suaminya tidak boleh memiliki perempuan lain sebagai istri kedua (Sabiq, 1994:187-188).

Ada hal yang patut kita cermati dari kata2 Billy Graham, seorang penginjil Kristen :"Ajaran Kristen tiak kompromi pada persoalan
poligami. Islam telah mengijinkan poligami sebagai jalan keluar untuk mengatasi penyakit-penyakit masyarakat dan telah membolehkan dengan
sewajarnya pada naluri manusia, tetapi dalam kerangka hokum yang diatur ketat. Negara2 Kristen mempromosikan monogami besar2an, tapi kenyataannya mereka sebetulnya poligami. Setiap orang tahu permainan "wanita simpanan" dalam masyarakat Barat. Islam merupakan agama yang sangat jujur dan memperbolehkan muslim untuk menikahi perempuan lain jika dia terpaksa, tapi Islam melarang dengan ketat semua bentuk percintaan terselubung untuk menyelamatkan integritas moral masyarakat (Doi, 1994:76)."

Kalau nonmuslim saja bisa melihat ke-tawadzun-an dalam masalah poligami ini, kenapa kita masih ribut? Bukankah ini bukti luarbiasanya dan sempurnanya Islam? Islam MEMBOLEHKAN poligami, dalam beberapa kasus di atas bahkan bisa jadi SOLUSI. Hukum menikah ada beberapa, bisa jadi WAJIB, MUBAH, MAKRUH, bahkan HARAM. Dilihat kasus per kasus. Poligami juga, tergantung setiap keluarga yang menjalaninya.

4. Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan

a. Adakalanya istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuh, padahal suami ingin mempunyai anak. Dengan keadaan seperti ini apakah lebih baik suaminya dibiarkan menderita karena kondisi istrinya dan ditimpakan seluruh penderitaan tadi kepada suaminya seorang, atau dipandang lebih baik istrinya diceraikan saja dan menderita dengan perceraian itu, padahal ia masih menginginkan hidup berdampingan dengan suaminya? Ataukah lebih baik poligami sebagai suatu alternatif yang cukup win-win solution?

b. Kesanggupan laki-laki untuk berketurunan lebih besar dari perempuan. Kesanggupan perempuan untuk mempuanyai anak berakhir
sekitar usia 45-50 tahun, sedang laki-laki sampai dengan lebih dari 60 tahun.

c. Ada segolongan laki-laki yang mempunyai dorongan seksual sangat besar sehingga tidak puas dengan seorang istri saja. Maka itu poligami bisa menjadi alternatif pemecahan.

d. Terhindar dari lahirnya anak-anak di luar
pernikahan. Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Sosial Amerika Serikat mencatat biaya yang ditanggung pembayar pajak untuk anak-anak tidak sah adalah US $ 210 juta di tahun 1959 untuk sekitar 205 ribu anak.(Sabiq, Sayyid 1978:185-186)

Sebagai penegasan dan kesimpulan semoga kita sepakat bahwa : Merupakan karunia dan rahmat Allah yang menjadikan poligami bukan wajib dan bukan sunnat, tapi DIBOLEHKAN dan dibatasi hingga empat saja. (Sabiq, Sayyid 1978:179) Selain hak suami untuk beristri sampai empat, istri juga berhak saat ijab qobul meminta untuk tidak dimadu. Subhanallah, betapa luar biasa adilnya Allah dalam mengatur masalah ini. Dengan paparan ini, harapan kecil saya adalah adalah
:
1. Yang sekaum dengan saya jangan langsung alergi ketika berbicara poligami atau berkata "Tidaaaaakkkkkkkkkk!!!" kepada suami
saat suami mengutarakan keinginannya untuk poligami.

2. Bagi kaum adam, tolong jangan mengatakan ini sunnah Nabi, dengan demikian harus diikuti, seperti sunnah-sunnah Nabi yang lain. Tolong jangan mengikuti hawa nafsu dan berlindung di balik ayat.

3. Tidak perlu berbeda pendapat tentang poligami, karena ini adalah hak masing-masing pasangan, yang kondisinya bisa berbeda-beda. Bisa jadi bagi seseorang poligami adalah suatu solusi, dan bagi orang yang lain adalah petaka.

Literatur :
Doi, Abdul Rahman. 1994. Woman in Shari'ah. London :
Ta-Ha Publishers.
Frevert, Ute. 1988. Woman in Germany History : From
Bourgeois Emancipation
to Sexual Liberation. New York : Berg Publishers.
Hare, Nathan and Julie Here (ed.). 1989. Crisis in
Black Sexual Politics.
San Francisco : Black Think Thank.
Kilbridge, Philip L. 1994. Plural Marriage For Our
Times. Westport Conn :
Brgin & Garvey.
Sabiq, Sayyid, 1978. Fiqhussunnah Jilid 6. Bandung :
PT Alma'rif.

sumber : http://poligami.blogspot.com/

Serba-serbi Poligami

Beberapa waktu yang lalu aku menerima pertanyaan dari ymid naiya_cantik yang bertanya tentang proses cerai dalam hukum Islam. Kira-kira pertanyaannya adalah apakah ada hak yang hilang apabila istri menggugat cerai suami dan perbedaan antara isteri yang menuntut cerai dan suami yang menuntut cerai dan kemudian dia bercerita bahwa rekannya menikah dengan seorang laki-laki yang telah beristri (nah loh).

Wah ternyata banyak juga yang masih belum memahami tentang hukum dalam urusan keluarga seperti ini, enaknya di share di blog mungkin yaa

Di dalam hukum Islam, tidak ada perbedaan prinsipil antara istri atau suami yang menuntut cerai dan juga tidak ada hak yang kemudian hilang bila istri melakukan tuntutan cerai. Perbedaannya lebih ke perbedaan teknis yaitu apabila suami yang berkehendak cerai maka suami membuat permohonan talak ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan termohon (istri), sementara bila istri yang berkehendak untuk cerai maka istri membuat gugatan cerai ke Pengadilan Agama di tempat kedudukan penggugat (istri) terkecuali bila istri meninggalkan rumah tanpa ijin suami maka gugatan dilakukan di Pengadilan Agama tempat kedudukan tergugat (suami) Diluar itu, maka sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip dari tuntutan cerai baik yang dilakukan oleh istri maupun suami

Lalu bagaimana dengan poligami…? Ini memang satu persoalan, untuk komunitas muslim maka yang berlaku adalah prinsip poligami terbatas (restricted poligamy) sementara diluar komunitas muslim maka yang berlaku prinsip adalah monogami mutlak (absolute monogamy).

Sebetulnya menurut kacamata hukum, meski Islam membolehkan poligami namun dibatasi pelaksanaannya dengan sangat ketat yaitu dengan adanya syarat “adil”. Persyaratan adil ini merupakan persyaratan yang sifatnya sangat subyektif karena sangat sulit menemukan batasan adil. Oleh karena itu dalam hukum postif Indonesia kemudian diterjemahkan dengan berbagai keadaan seperti keharusan adanya ijin dari istri terdahulu, adanya ketidakmampuan secara biologis dari pihak istri untuk melahirkan keturunan (menurutku sih syarat ini sangat tidak adil bagi perempuan), malah menurutku harus lebih diperketat lagi karena ijin ini seringkali dimanipulasi oleh laki-laki. Dalam pandanganku jika suami hendak menikah lagi maka selain ijin diperlukan penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa suami diperbolehkan menikah lagi dengan syarat-syarat seperti mampu secara ekonomi untuk menghidupi “keluarga besarnya” dengan layak, kesiapan secara psikologis dari seluruh pihak yang terlibat dalam perkawinan poligami tersebut, dan juga apakah ada semacam “restu” dari keluarga suami, istri, dan calon istri.

Problemnya poligami di Indonesia seringkali tidak taat hukum (dalam hal ini aku tidak pernah mendukung dan merestui poligami) sehingga seringkali dilakukan pemalsuan dokumen dan identitas. Perkawinan poligami “aspal” ini bisa digugat secara perdata melalui lembaga pembatalan perkawinan dan juga dapat dipidana karena pemalsuan dokumen dan identitas (harus diingat bahwa lebih banyak laki-laki yang memalsukan dokumen dan identitas).

Nah, lalu apa yang harus dilakukan, menurutku sih paling aman ya jangan diliriklah poligami dan buat kaum perempuan berhati-hatilah dengan poligami ini karena lebih sering menjerumuskan semua dibanding manfaatnya

sumber : http://anggara.org/

Debat Poligami Menjelang Kemerdekaan RI

Oleh: Adian Husaini


Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul “Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa”. Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.

Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.

Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.

Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran ‘Suluh Indonesia Muda’ yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.

Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan ‘jalan tengah’ dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, “Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan.’’

Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul “La maitresse legimitime” .

Anquetil menulis dalam bukunya:

“Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengaran dari buku Inggris : ‘’History and philosophy of marriege.’’ Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat ; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya… Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hokum alam telah dilakukan pada setiap zaman karena hokum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunan-turunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja.”

Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: “Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami.”

Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: “In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies.” (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).

Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri.

Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.

Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:

“Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda – baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak – yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.

Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang ‘’dus beradab’’ masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika).

Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.

Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan “persetujuan” pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada “Kristen”, seperti yang lazim dianut di kalangan masyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan “Umdeutung”, dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaran-ajaran itu sebagai bid’ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam.

Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan ‘’menyesuaikan’’ agama Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan ‘’keunggulannya’’ kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam – antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami – maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu.’’

Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal ‘anggapan-anggapan’ atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan ‘anggapan’ nya sendiri.

Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan.

Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.

Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.

Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.

Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.

Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali.

Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.

Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a’lam. (Depok, 15 Desember 2006/www.hidayatullah.com).

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com